Sejarah Desa
Sejarah Desa Gunturmadu
Menurut tradisi lisan yang berkembang secara turun-temurun di masyarakat, pada masa penjajahan Belanda (sebelum tahun 1924), sebelum terbentuk sebagai satu wilayah desa, Gunturmadu terbagi menjadi tiga wilayah. Ketiga bagian wilayah tersebut dipimpin oleh seorang Lurah Gereng yang dalam menjalankan tugasnya, dibantu oleh para sesepuh dan kyai, diantaranya Kyai Guntur Geni, Kyai Mantren, Kyai Penderesan, Kyai Kidin, Kyai Bantarpanjang, Syeh Umar Sutodrono dan Mbah Maxa. Sementara itu, masing-masing wilayah memiliki makna dan sejarah tersendiri, yakni sebagai berikut.
Pertama, Dusun Buaran, Dusun Plumbungan, dan Dusun Ngaglik. Pada abad ke-19, konon penjajah Belanda akan masuk ke daerah pemukiman warga. Belum sampai ke pemukiman, di tengah perjalanan, tepatnya dibawah pohon beringin yang sangat rindang, penjajah Belanda dihadang oleh sekelompok semut yang sangat banyak. Menurut sumber lisan, semut tersebut dikenal dengan nama semut Geni, yang dipelihara Kyai Guntur Geni. Menurut keterangan lainnya, penjajah Belanda melihat bahwa ada kobaran api yang sangat dahsyat di atas makam yang berada di dusun tersebut. Oleh karena itu, penjajah Belanda urung masuk ke pemukiman warga sehingga kembali ke markasnya. Atas dasar peristiwa tersebutlah, dusun ini dinamai Dusun Buaran yang bermakna bubaran. Selain kisah tersebut, dusun Buaran merupakan tempat yang cocok untuk memelihara unggas yang disebut bara, yaitu sejenis hewan peliharaan seperti, ayam, bebek/itik, menthok, dan lain-lain. Selanjutnya, penamaan Dusun Plumbungan berawal dari berpindahnya masyarakat dari daerah yang sering terjadi longsor karena berada di lereng bukit. Oleh karena itu, warga yang menghuni daerah itu bermusyawarah untuk pindah ke daerah yang lebih aman. Akhirnya, mereka menemukan suatu tempat yang dikelilingi bukit dan berbentuk seperti lumbung (tempat penyimpanan padi), sehingga dinamakan Dusun Plumbungan. Sementara itu, Dusun Ngaglik terbentuk dari peristiwa longsor pada sebuah bukit yang terjal dan sulit dijangkau. Peristiwa longsor tersebut cukup mengagetkan warga hingga terdapat seorang sesepuh desa yang naik ke atas lokasi terjadinya longsor. Sesampainya di atas, sesepuh desa itu mengumumkan bahwa tempat tersebut di beri nama Ngaglik, yang artinya tempat yang tinggi dan terjal.
Kedua, Dusun Tugu. Dari tradisi lisan yang berkembang di masyarakat, dikisahkan bahwa terdapat seorang kyai yang memiliki kesaktian. Konon kyai tersebut menancapkan sebuah batu berbentuk seperti tugu sebagai tanda bahwa tempat tersebut akan digunakan sebagai tempat tinggal warga. Setelah dijadikan pemukiman, tempat tersebut di namakan Dusun Tugu, yang bermakna bahwa sebelum menjadi pemukiman daerah tersebut sudah ditancapkan sebuah batu yang menyerupai tugu. Begitu pula dengan kyai yang menancapkan batu tersebut, ia dikenal dengan nama Kyai Tugu.
Ketiga, Dusun Kaligintung dan Bandingan. Pada masa kolonial Belanda, masyarakat banyak yang pindah ke wilayah pedesaan ini untuk mengungsi. Sebelum masuk wilayah ini, para pengungsi harus menyeberangi aliran sungai yang cukup deras sehingga mereka bergotong-royong untuk membangun sebuah jembatan guna menyeberangi sungai. Atas dasar itulah, dusun tersebut dikenal dengan nama Kaligintung, yang bermakna sungai berjembatan gantung. Sementara itu, di atas Dusun Kaligintung, pernah terjadi peristiwa bertemunya tiga orang kyai, meliputi Kyai Kiden, Kyai Guntur Geni, dan Kyai Penderesan. Ketiga kyai tersebut bermusyawarah dalam rangka pemindahan pemukiman warga akibat sering terjadi tanah longsor (guntur) di daerah Payaman. Pemukiman warga konon dipindahkan ke daerah Sijambu. Ketiga kyai tersebut, bersama lima tokoh setempat, memandang (mawas; ngeker) dan membandingkan bahwa daerah tersebut akan dipergunakan sebagai pemukiman warga serta dibuatkan saluran irigasi untuk mengairi sawah milik warga. Atas kesepakatan tiga kyai dan lima tokoh masyarakat itulah dusun tersebut dinamakan Dusun Bandingan, yang bermakna digunakan sebagai pembanding.
Sekitar akhir Desember 1923, diadakan pemilihan Kepala Desa pertama kali. Namun, tidak lama setelah pemilihan tersebut, sekitar awal tahun 1924, terjadi peristiwa longsor yang cukup besar. Dalam longsor ini, rumah-rumah warga hanyut. Sejak saat itulah, keenam dusun yang telah tersebut di atas bergabung menjadi satu desa, yakni Desa Gunturmadu, dan telah menjadi satu dalam segala bentuk kegiatan baik secara administratif maupun kemasyarakatan. Hingga saat ini, Gunturmadu telah berkembang pesat dari aspek tata kelola kelembagaan pemerintah desa, keamanan, pengadaan air bersih, peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang mana tidak lepas dari peran beberapa tokoh yang menjabat sebagai Kepala Desa Gunturmadu, meliputi:
- Suroso Mentosentono (1923 – 1945)
- Atmo Pawiro (1946 – 1975)
- Sarno Purwosunoto (1976 – 1996)
- Supardi Yuono (1997 – 2004)
- Pawit Wito Harjo (2004 – 2005)
- Pratikno, S.E (2007 – 2012)
- Pawit Wito Harjo (2011 – 2012)
- Ponijo (2013 – 2018)
- Suparman (2019 – 2024)